Uang sebagai panglima
Beberapa waktu yang lalu kita sering mendengar seorang aparat penegak hukum diberitakan terlibat dalam penerimaan uang suap dalam jumlah miliaran rupiah terkait kasus yang diselidikinya. Akhirnya reputasinya yang selama ini dikenal baik jadi hancur lebur dalam sesaat. Perjalanan karirnya pun akhirnya terhenti cukup sampai disini. Begitu Anggota Dewan kita yang terhormat pun tidak luput dari berita yang dengan skandal yang sama pula. Walau penghasilan resmin mereka di atas rata-rata bila kita bandingkan dengan penghasilan kebanyakan rakyat, ditambah lagi dengan tunjangan sana-sini lainnya, akan tetapi masih saja kita mendengar ada Anggota Dewan yang terbukti menerima menerima suap. Kasus serupa masih sering yang terjadi, mulai dari aparat penegak hukum, Anggota Dewan, hingga pejabat Pemerintah pada level bawah, terlibat kasus suap.
Dari semua kasus-kasus di atas bermuara pada satu hal yaitu masalah uang. Pada satu titik tertentu, uang mungkin menjadi sumber masalah, akan tetapi di titik lain, uang dapat pula menjadi sumber kebahagiaan. Kahlil Gibran, seorang penyair kelahiran Lebanon, pernah mengingatkan, “Uang seperti cinta, yang dapat membunuh dan melukai orang yang hanya bisa menggenggamnya saja, tapi juga dapat menjadi penambah semarak kehidupan bagi yang dapat memberikannya kepada orang lain.”
Bila kita hubungkan dengan keadaan sekarang maka dapat diberikan presepsi bahwa uang sangatlah memegang peranan penting dalam roda kehidupan. Dengan memiliki banyak uang akan membuat hidup menjadi lebih baik dan bahagia. Pada tingkat tertentu, bisa jadi uang mungkin dapat memberikan kebahagiaan. Seseorang tidak harus memiliki banyak uang untuk menjadi bahagia. Sebaliknya, jika tidak memiliki uang yang cukup, tidak berarti orang tidak bisa bahagia.
Namun pada hakekatnya, kebahagiaan lebih ditentukan oleh pikiran dan keikhlasan hati yang ada dalam diri seseorang. Jika dari awal kita berpikir dan merasa tidak bahagia, maka tidak bahagialah kita. Barangkali malang bagi mereka yang berpikir seperti ini. Pepatah yang mengatakan bahwa uang tak dapat membeli kebahagiaan mungkin ada benarnya. Meskipun harus diakui uang dapat mempercepat proses mencapai kebahagiaan tersebut jika diperoleh dan digunakan secara bijaksana.
Tidak selamanya orang melakukan sesuatu demi uang. Seorang public figure di negeri ini rela melepaskan jabatan komisaris utama di berbagai perusahaan, hanya untuk menjadi seorang pejabat publik. Padahal jika diambil perbandingan insentif yang didapatkan ketika ia menjadi pejabat publik jauh lebih kecil dibandingkan sebelumnya ketika ia masih menjabat komisaris di berbagai perusahaan tersebut. Tetapi mengapa ia mau melakukan hal itu? Ternyata ada hal yang lebih bermakna daripada sekedar uang. Ada tingkat kepuasan tertentu yang dirasakan ketika ia menjabat sebagai pejabat publik. Pekerjaan-pekerjaan yang digeluti merupakan sesuatu hal yang jauh lebih bermakna. Nilainya dirasakan jauh lebih berharga daripada hanya sekedar uang.
Memiliki uang memang jauh lebih baik daripada tidak memilikinya. Kepemilikan atas uang mungkin diperlukan, misalnya untuk menjalani hidup ini atau untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan. Dengan uang, Anda dapat melakukan banyak hal. Namun mungkin perlu disadari, bahwa uang sesungguhnya hanyalah suatu cara, suatu alat bantu untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri atau penggantinya.
Ketika orang-orang mulai meletakkan uang sebagai sesuatu keharusan dan akhir dari apa yang dicari, barangkali disitulah awal mula kekeliruan yang terus berlanjut pada kekeliruan berikutnya yang lebih fatal. Karena akhirnya uang menjadi panglima atas dirinya, bukan sebaliknya. Uang seharusnya diletakkan dalam fungsi sebagai instrumen belaka, dan selayaknya harus berada di bawah kendali kita.
Kalau kita memperbincangkan tentang uang mugkin tidak akan pernah habis, karena begitu besar pengaruhnya dalam seluruh aspek kehidupan kita. Tetapi seperti juga benda-benda kebutuhan hidup lainnya, sesungguhnya masih banyak di dunia ini yang jauh lebih penting daripada sekedar uang. Tujuan hidup kita di dunia ini misalnya, seringkali terlupakan, termasuk upaya-upaya pencapaiannya, karena terlampau mengacu pada uang dan materi yang menjadi tolok ukurnya. Akibatnya, kita lalai dalam mengukur hal-hal yang seharusnya tidak dapat diukur dengan uang, misalanya cinta dan kebahagiaan
Hukum sebagai panglima
Masalah penegakan hukum tidak jauh dari pesoalan uang kita bicarakan diatas. Begitu banyak masalah-masalah yang ada diskitar kita menyangkut pada persoalan hukum. Coba kita bayangkan apabila dalam suatu negara hukum berjalan tidak sebagaimana mestinya. Bayangkan apabila para penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim (termasuk juga pengacara) bebas melakukan KKN. Bayangkan apabila orang-orang yang benar secara hukum namun tak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup, harus berperkara dengan golongan berduit yang bisa mempermainkan hukum seenak perutnya. Bagaimana jadinya "rupa" suatu negara yang hukum dan peradilannya dikorup oleh para penguasa jabatan dan penguasa ekonomi? Negara kita Indonesia akan mengalami hal tersebut jika hukum dan peradilan di negeri ini tidak segera dibenahi. Ekonomi jadi morat-marit, krusuhan bertebaran, kriminalitas di mana-mana, pemerintahan gunjang-ganjing, demonstrasi setiap hari, dan ujung-ujungnya negara ambruk di segala bidang.
Prof Charles Himawan lewat institusi hukumnya telah memprediksi hal mengerikan ini bahkan telah diprediksi sejak jauh hari. Dengan segala kemampuan (pengetahuan hukum) yang dimilikinya, ia berupaya membenahi kebobrokan ini dari hari ke hari tak kenal putus asa. Pasal didengarkan atau tidak oleh para eksekutif, dilaksanakan atau tidak oleh yudikatif, berhasil atau tidak menyadarkan legislatif, itu soal lain lagi. Prof Charles Himawan melakukan upaya itu lewat tulisan-tulisannya yang banyak dimuat Harian Kompas. Sejumlah 35 karya tulisnya kemudian dirangkum dalam satu judul Hukum sebagai Panglima (HSP) yang, sayangnya, diterbitkan setelah beliau wafat.
Namun, intisari sesungguhnya yang menjadi dasar bagi penegakan (semua jenis) hukum yang bersih dan berakhlak ialah pada filsafat hukum. Menurut Prof Charles Himawan: Pendidikan hukum harusnya mendidik calon-calon ahli hukum untuk berpikir secara analistis dan agar mempunyai "insight" terhadap masalah-masalah hukum. Calon ahli hukum harusnya tidak sekadar dididik menghafal pasal dan ayat. Hal yang sama pula dikemukakan oleh praktisi hukum Dr Todung Mulya Lubis: "…. filsafat hukum sudah semakin tak berharga, kita akhirnya hanya melihat ahli-ahli hukum yang cerdas dalam mengotak-atik UU dan peraturan, tetapi tak mengerti akan keadilan. Lihat saja, ada lawyer yang sangat pakar, tak pernah kalah berperkara, dan hafal di luar kepala segala peraturan dan UU hingga seluruh rambutnya memutih. Namun di kedalaman nuraninya ia tidak memiliki rasa keadilan. Manusiawikah dia? Bukan mustahil dengan kepakarannya dia akan memelintir hukum semau dia tanpa memikirkan kepentingan masyarakat banyak...
Hukum seyogyanya dijadikan sebagai barometer dalam memutuskan suatu perkara peradilan, sehingga mampu dijadikan sebagai panglima. Ketika hukum dengan sadar sudah dijadikan sebagai panglima, maka dengan sendirinya para ahli hukum tidak lagi menjadikan hukum sebagai barang mainan. Dengan demikian keadilan pun dapat ditegakkan sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara kita. Akan tetapi, hukum sebagai panglima pun terasa agak ngelantur sebab berbagai macam "properti" hukum yang coba dijual oleh aparat penegak hukum itu sendiri. Prof Charles Himawan dan para pemerhati hukum lainya memiliki obsesi besar yang sangat besar dalam penegakkan supremasi hukum dan tak pernah berhenti disuarakan kepada seluruh bangsa. Todung Mulya Lubis, mengibaratkannya dengan: "….tulisan-tulisan Charles Himawan adalah pergumulan batin yang panjang seorang intelektual yang tak mau menyerah kepada keadaan dan keputusasaan.
Hukum Sebagai Panglima boleh jadi adalah perwujudan kecil dan terakhir dari obsesi dari seorang Charles Himawan. Obsesi yang jika mencermati kondisi Indonesia beserta segenap SDM-nya terutama di lembaga yudikatif saat ini, terasa muskil dan naif. Akan tetapi harus juga diingat bahwa optimisme adalah saudara kembar dari suksesi. Dan siapa tahu suatu saat nanti Indonesia bisa seperti Singapura yang serba "nyaman" karena sistem hukumnya yang berlaku adil terhadap seluruh lapisan masyarakat. Keadilan yang bermula dari puncak selalu akan menggelinding dengan mudah dan mencapai dasar hingga kedalaman.
Pada hakekatnya hukum memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam peradilan. Tanpa dasar hukum yang jelas dan logis maka sorang hakim (dan aparat penegak hukum lainnya) tidak dapat memberikan putusan perkara peradilan. Hukum sebagai Panglima ini setitik harapan di tengah-tengah padang ketiadaan harapan. Meskipun realitas yang berlangsung di Republik ini sepertinya lebih klop dengan judul "Panglima sebagai Hukum". Memang di Indonesia ini "panglima" (jabatan, atasan, pemerintah, senjata, dan lain lain) masih sebagai pemilik, penguasa, dan eksekutor hukum sekaligus.
Pendidikan sebagai panglima
Indonesia dengan masyarakatnya yang sedemikian majemuk dan penduduknya tersebar di berbagai pulau, sungguh konsolidasi adalah tugas yang amat berat dan sangat monumental dalam perjalanan bangsa ini. Bung Karno dan pendiri bangsa lainnya pantas sekali mendapatkan penghargaan dari kita semua yang telah bersusah-payah dan berhasil mengantarkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengingat urgensi agenda konsolidasi politik, maka muncul istilah ”politik sebagai panglima” pada era Bung Karno yang juga populer dengan sebutan Orde Lama.
Mari merenung sejenak,mengamati rahasia yang menjadi sumber kebangkitan dan kekuatan dari sebuah bangsa dan negara. Salah satu kata kuncinya adalah pendidikan. Kita mulai dari yang paling klasik, yaitu Yunani. Siapa pun yang belajar pemikiran filsafat dan politik, mesti mulai dari warisan intelektual Plato dan Aristoteles 2.500 tahun lalu. Seakan dua nama itu masih hidup dan dikenal dunia, sementara kondisi bangsa dan masyarakat Yunani saat ini bagaimana,kita tidak begitu akrab.
Di sinilah bedanya. Mesir purba yang memiliki peradaban unggul seperti Yunani, namun karena tidak terabadikan dalam bentuk tulisan dan diwariskan dalam sistem pendidikan, maka yang tersisa hari ini adalah bangunan fisik berupa candi piramida dan Spink. Yang paling spektakuler tentu saja kebangkitan yang muncul dari pasir Arabia dengan kehadiran sosok Muhammad yang mengenalkan Alquran, sumber ilmu pengetahuan dan peradaban, sehingga dalam kurun waktu yang amat singkat wilayah padang pasir itu berubah menjadi pusat peradaban.
Neo-Nasionalisme
Kondisi sekian banyak negara yang menyatakan merdeka setelah Perang Dunia II ternyata berbeda-beda.Ada yang cepat, ada yang sedang, ada pula yang lambat melakukan konsolidasi dan modernisasi.
Negara-negara pascakolonial ini masih sulit menghilangkan luka akibat perang dan penjajahan.Terlebih Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk dan penduduknya tersebar di ribuan pulau.Sungguh merupakan tugas sejarah yang tidak ringan membangun pemerintahan yang efektif dan penguatan nasionalisme. Sampai hari ini kita mesti bersyukur tidak terjadi Balkanisasi di negeri ini. Menyusul setelah konsolidasi politik adalah orde pembangunan ekonomi sebagai panglima di bawah Presiden Soeharto. Ini merupakan pilihan dan keharusan sebagaimana juga yang dilakukan bangsa dan negara lain di dunia.
Nasionalisme yang didorong oleh semangat fight against (penjajah) pelan-pelan diganti oleh semangat fight foryang berorientasi pada prestasi pembangunan ekonomi. Generasi yang lahir pada 1970-an tentu tidak merasakan secara langsung bagaimana bobroknya kondisi ekonomi yang ditinggalkan rezim Orde Lama yang sarat dengan retorika politik antiimperialisme sehingga Bung Karno bisa disebut sebagai nation and state te buil Berbeda dari Bung Karno, Pak Harto tampil membangun ekonomi sehingga dia sering dijuluki sebagai market builder.
Namun sangat disayangkan, gerak maju pembangunan bangsa ini harus mundur lagi karena kesalahan manajemen politik dan muncullah era reformasi dalam suasana kemarahan dan kekecewaan karena Orde Baru gagal mengelola sukses (the failure of success) akibat korupsi kronis yang justru dipelihara dan disebarkan dari tubuh birokrasi dan elite penguasa. Kini,kita masih harus berjuang keras mengulangi agenda lama,yaitu konsolidasi politik dan membangun ekonomi, sementara beberapa negara lain sudah lebih maju lagi memasuki tahapan pembangunan pendidikan dan budaya.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa kita ibarat mobil, terpaksa mundur untuk maju, namun mundurnya jangan terlalu jauh. Hanya dengan pendidikan yang bagus, kompetitif, dan meratalah sebuah bangsa akan bisa tampil dengan kepala tegak dalam persaingan dunia. Tidak sulit membuktikan kebenaran teori ini.
Lihat saja benua Australia yang dulu dipandang sebelah mata sebagai gurun pasir tempat pelarian orang kulit putih kelas kambing, kini kemajuannya sangat mengesankan berkat lembaga pendidikan yang bagus, sebuah pendidikan dalam arti yang lebih luas,bukan sekadar memperoleh titel kesarjanaan, tetapi untuk mendorong munculnya kebudayaan dan peradaban unggul yang dikembangkan oleh warganya. Begitu pun China, India, Malaysia, dan Singapura yang sekarang ini tampil sebagai pemain baru yang diperhitungkan dalam percaturan global.
Kesemuanya itu bermula dari pembangunan politik, ekonomi, kemudian dilanjutkan dengan memosisikan program pendidikan sebagai prioritas utama. Singapura yang semula dikenal hanya sebagai kota belanja dan transit, kini sangat agresif membenahi diri untuk menjadikan pendidikan sebagai identitas diri dan sumber devisa. Meminjam ungkapan teman, Pemerintah Singapura mengisi otak dan hati rakyatnya setelah diberi rasa aman dan perutnya dikenyangkan lebih dahulu.
Paruh kedua pemerintahan Pak Harto sesungguhnya rasa aman dan perut kenyang sudah diraih. Namun ada aspek lain yang dilupakan, yaitu mengelola hasil pembangunan bidang pendidikan. Tuntutan kelas menengah dan lapisan terpelajar tentu tidak cukup hanya terpenuhinya kebutuhan sandang dan pangan. Mereka mulai menuntut ruang kebebasan untuk berpendapat dan berbeda.
Tuntutan inilah yang kurang direspons segera oleh Pak Harto sehingga berujung menjadi air bah yang menghantam dirinya.Jadi, sesungguhnya Pak Harto telah berhasil memakmurkan dan memintarkan rakyatnya sendiri, namun lupa atau enggan membuka keran demokrasi sehingga hasil jerih payahnya selama jadi presiden buyar berantakan. Dia gagal mengelola sebuah keberhasilan. Mungkin kesalahannya tidak fair dilemparkan kepada Pak Harto sendiri. Andil kroni-kroninya sangat besar dalam proses pembusukan rezim Orde Baru.
Negara-negara tetangga di Asia Tenggara mestinya memperoleh pelajaran yang amat berharga dari perjalanan Indonesia. Kalau pemerintah dinilai korup,sementara keran demokratisasi tidak dibuka, maka rakyat yang sudah kenyang dan pintar itu pasti akan bergolak menghantam pemerintah sendiri. Jadi, agenda ke depan ini Indonesia mesti membangun neonasionalisme, sebuah kecintaan dan kebanggaan menjadi warga Indonesia karena prestasi pendidikan dan peradabannya.
Bunyi undang undang yang menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20% sudah tepat. Kita sebagai orangtua sangat siap kerja keras dan hidup prihatin demi mengantarkan anak-anak kita memperoleh pendidikan yang bagus demi masa depan mereka. Bisakah semangat dan kesiapan prihatin demi anak ini ditransfer menjadi sikap pemerintah dan bangsa secara kolektif?
Mencermati uraian diatas maka dapat diberikan kesimpulan bahwa Uang sebagai panglima, hukum sebagai panglima, politik sebagai panglima, pendidikan sebagai panglima bahkan ketika panglima dijadikan sebagai gelar/predikat bagi seseorang dalam sebuah institusi. Gunkanlah “panglima” sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup dengan jalan yang baik, jangan memperalat panglima untuk mencapai tujuan hidup dengan jalan yang tidak halal. Panglima memiliki kekuatan mistik yang mampu mengerakkan bahkan megarahkan kita pada hal yang baik dan yang buruk, bergantung pada sebuah predikat yang memikulnya. Akan tetapi, ketika panglima tidak disandang oleh sebuah obyek maka panglima tidak memiliki kekuatan apapun. Dia hanyalah sederet huruf yang tertata secara teratur dan memiliki makna tertentu. Panglima hanyalah sebuah kata yang tak ubahnya dengan istilah-istilah lain yang digunakan hanya untuk menyandang sebuah predikat.
Referensi :
1. http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=8897.0
2. http://www.solusihukum.com/resensi.php?id=23
3. http://www.stmikmj.ac.id/berita/stmik-mj/70-pendidikan-sebagai-panglima.html